Reformasi Pemilu dan Partai Politik
Banyak masalah dalam demokrasi kita datang dari biaya pemilu yang mahal dan kekuasaan yang terlalu terpusat pada ketua parpol. Masyarakat pun menuntut reformasi pemilu dan partai politik untuk sistem yang lebih adil, transparan, dan bebas dari politik uang.
Komitmen ini merespon tuntutan dari
Konteks
Pemilihan anggota DPR pakai sistem proporsional terbuka membuat biaya kampanye tinggi dan kompetisi jadi sengit, bukan cuma dengan caleg partai lain, tapi juga partai sendiri. Jadi, kader yang berpeluang lolos ke parlemen biasanya yang punya modal besar.
Selain itu, pengambilan keputusan dalam proses legislasi juga terpusat di level fraksi yang bikin anggota partai cenderung selalu menuruti permintaan ketua partainya. Contoh: Bambang Pacul tidak bisa mendukung UU Perampasan Aset karena harus berdialog terlebih dahulu ke ketum parpol. Ia baru akan mendukung UU Perampasan Aset jika ketum parpol memberi izin.
Dari pemilu ke pemilu, transparansi dan akuntabilitas dana kampanye juga masih terus dipertanyakan. Padahal, berpotensi jadi ladang basah korupsi para pejabat. Bahkan, muncul upaya penambahan dana bantuan parpol yang berasal dari APBN. Tapi, selama ini dana bantuannya tidak dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Sementara itu, ongkos politik mendirikan partai baru juga sangat mahal dan berbelit; harus punya kantor kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan.
Kebijakan yang memengaruhi masalah ini
Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab


















