Pastikan Transisi Energi Berkeadilan
Dua regulasi penting yang atur transisi energi masuk Prolegnas 2025; RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan RUU Pengelolaan Pembangkit Listrik (PPI). Ini diharapkan bisa mempercepat peralihan menuju energi hijau. Sejumlah kelompok masyarakat pun menekankan penerapan kedua aturan ini tetap perlu memastikan prinsip keadilan energi.
Konteks
Sebentar lagi Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30-UNFCCC) akan segera digelar pada November 2025 di Brazil, tapi Indonesia masih belum menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) 2031–2035. Namun, pemerintah pastikan draf rampung sebelum COP30.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto menaruh target 100 persen menggunakan energi terbarukan pada 2035. Ia berencana menambah 75 gigawatt energi terbarukan dan mempercepat target Emisi Nol Bersih dari 2060 menjadi 2050. Ambisi besar ini butuh biaya besar dan reformasi kebijakan yang konkret, misalnya pensiunkan dini sejumlah PLTU batu bara, membatalkan pembangunan pembangkit fosil dalam daftar RUPTL, dan membangun pembangkit energi terbarukan dalam skala besar.
Pemerintah juga harus dorong transisi energi transportasi di Indonesia karena emisi dari sektor transportasi hampir mencapai 30 persen dari total emisi CO2, khususnya transportasi darat. Ini bikin dekarbonisasi sektor transportasi jadi langkah penting untuk menurunkan emisi nasional.
Saat ini, RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) dan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim (RUU PPI) masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Ini dianggap langkah strategis dalam perjuangan keadilan iklim di Indonesia. WALHI menuntut transisi energi di Indonesia harus berasaskan energi yang berkeadilan dan berkelanjutan, misalnya berasal dari sumber energi terbarukan dan yang dikelola dengan berlandaskan keadilan, kedaulatan, integritas, transparansi, dan akuntabilitas.
Kebijakan yang memengaruhi masalah ini
Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab





















